By Fera

By Fera Marleni

MEMILIH DIRI SENDIRI: Self Love Bukan Egois

Ode untuk  yang pergi dalam keheningan

Pernahkah kau menyaksikan, seseorang pergi dalam diam. Melangkah dengan tatapan kosong dan tak menoleh lagi ke belakang. Padahal yang ia tinggalkan adalah hal yang seumur hidup ia perjuangkan. Itu adalah orang yang benar-benar sudah terluka. Luka itu menjadi duka yang bersemayam disukmanya. 

Duka yang  tak bisa lagi diredakan oleh ratapan dan deraian air mata. Duka yang  melampaui raungan kepedihan. Memilih kesunyian dan  menjauh dalam diam, adalah kedalaman hening. Hening yang dipilih oleh hati yang remuk tak berbentuk. Kebisuan yang terasa, bukan kebisuan sesaat. Itu adalah  tirai yang ditarik pertanda usai pertunjukan. Penanda bahwa sebuah bab telah selesai sampai di titik penghabisan. Tidak ada epilog, semua usai tanpa cerita perpanjangan. Usai itu bukan  kemarahan  tapi karena lelah yang membekukan sukma. 

​Orang yang pergi dalam diam, ibarat penyair yang kehilangan daya untuk menoreh pena.  Bukan karena ia tidak mampu melawan. Tapi,  sukmanya  telah penat bertempur habis-habisan di medan kesalahpahaman. Ia telah menuang semua air dari sumur sukmanya.  Berharap kehausan hati yang lain akan terpuaskan. Namun, yang ia terima cangkir  kosong retak yang tak bisa diisi kembali.

Ia rela terluka berkali-kali. Berharap ketulusan jadi jembatan menuju pemahaman. Ia pernah membentak. Bukan untuk menyakiti, tapi untuk membangunkan. Ia pernah menangis dengan harapan air mata bisa melarutkan ego yang membatu. 

Namun, bentakannya dianggap  drama. Air matanya dianggap pura-pura. Akhirnya, untaian kata  pun kehilangan makna. Suaranya kehilangan nada. Dan ia terduduk layu dengan tatapan kosong tak bercahaya. Pelan bulir terakhir airmata jatuh dipipinya. Sakit tak tertahan bertambah karena sadar ia hanya alat yang digunakan.

Kesadaran itu membawanya ke pemahaman. Tak ada lagi yang bermakna. Tak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Ia pun memeluk dirinya yang penuh luka. Mencoba  memberi kekuatan yang tersisa. Dengan tenaga yang hampir dibatasnya, ia kumpulkan sisa martabat yang berserak di lantai pengabaian. Tertatih kakinya melangkah ke gerbang perpisahan. Di ambang pintu perpisahan, tidak ada tangis keras, tidak ada lemparan tuduhan. Hanya tarikan napas panjang. Napas kekecewaan yang penuh mengisi kendi hati yang sekarang terasa sesak. 

Kepergiannya dalam hening adalah ucapan perpisahan.  Seolah ia berkata tanpa suara, “Aku telah mencintai ruang kosongmu, lebih dari yang aku mencintai diriku sendiri. Kini, aku memilih untuk pulang ke diriku.”

Bagi ia yang ditinggalkan, jangan menyalahkan kepergiannya. Jangan menyebut itu sebagai pelarian. Itu bukan pelarian. Itu adalah pelepasan murni karena luka yang terlalu dalam. Pahamilah bahwa ia memilih menyelamatkan diri. Membawa diri ke tempat sukmanya tidak perlu lagi  memohon untuk dihargai.

Kepergiannya dalam hening, bukan untuk menyalahkan. Itu karena ia sadar batasnya sudah dilewati. Diamnya adalah cermin refleksi semua janji yang tak ditepati. Heningnya adalah gambaran pengorbanan dan ketulusan yang dianggap remeh, terabai di ruang hampa. 

Untuk ia yang ditinggalkan, sadarilah!
Harga yang harus dibayar untuk penghargaan yang tidak patut, adalah kekosongan abadi.  Kini ia  pergi dengan cahaya yang dulu menerangi. Gelap pun perlahan menguasai tanpa bisa dicegah lagi. Kepergiannya jadi pelajaran mahal. Pelajaran yang ditulis dengan tinta kesedihan dalam buku bernama kekecewaan.

Ia yang pergi, kini menemukan kedamaian dalam jarak. Ia mungkin sedih, karena  meratapi hilangnya harapan yang pernah digenggam erat. Namun, dalam kesunyian dan jarak itu, ia bisa berdamai. Ia bisa memenangkan pertempuran berat yang menghisap daya kehidupannya. 

Pertempuran untuk menghargai dirinya di atas kebutuhan untuk dipahami.
Sesungguhnya, kepergian yang paling menghancurkan bukanlah yang disertai ledakan. Melainkan kepergian dengan gumaman pelan, “Aku sudah cukup! Terima kasih untuk waktu yang telah hilang”. Dan perlahan kabut keheningan menyelimuti dan membawanya pergi.

Latest News

Jebakan Zona Nyaman: Mengapa Kita Harus Rela Kembali Menjadi Ikan Kecil.

​Setiap perjalanan hidup, akan membawa kita ke sebuah titik yang terasa seperti puncak. Kita berh...

Self-compassion: Kenapa Luka dan Kesedihan adalah Bukti Kekuatan Sejati

​Kepada hati yang sedang lelah dan jiwa yang tengah berjuang. 

Aku tahu, ada desakan d...

Seni Menyembuhkan Luka Pengkhianatan Sendiri: 3 Fase Menuju Kekuatan Batin.

Aktifitas harian dan interaksi sosial kadang tanpa sengaja menyebabkan luka. Entah karena ketidak...

Pondasi Tak Terlihat: Mengapa Proses Sakit Itu Perlu untuk Impian Besar

Surat untuk Diri di Titik Terendah

Apakabar, diriku. Mari duduk dan bicara lepas tentang ki...

MEMILIH DIRI SENDIRI: Self Love Bukan Egois

Ode untuk  yang pergi dalam keheningan

Pernahkah kau menyaksikan, seseorang p...

JIKA LELAH, ISTIRAHATLAH:Pentingnya Istirahat Mental

Pesan dari Jiwa yang Pernah Terluka 
 
​Hai kau yang berjalan terseok. Ber...

GODAAN MALAS: Malas Positif Malas yang Sehat

Sering kali, kita tergoda oleh rayuan lembut ranjang empuk di pagi hari. Atau, d...

SEMUA AKAN BAIK-BAIK SAJA:Belajar Menerima Keadaan dan Berhenti Overthinking)

Kepadamu diriku: Cukup Sudah Pikiran Liar Itu! 

​Apa kabarmu. Cukup...

TUJUAN ITU PERLU: Arah Hidup Jelas

Dalam keseharian kamu, pernahkah  tiba-tiba kamu berhenti sejenak, menatap ke depan, dan ber...

HIDUP TAK PERNAH MUDAH: Kekuatan di Tengah Kesulitan

Film-film sering kali menutup ceritanya dengan adegan happy ending yang indah —masalah sel...

PILIH MINDSETMU: Kekuatan Pola Pikir

Hai, guys! Pernah denger istilah mindset ga? Istilah yang mungkin kedenga...

Our Courses